Hanya pikiran spontan... hanya belajar...

Rabu, 30 Januari 2013

Orang Tua dan Anak

Kemarin aku belajar banyak tentang parenting. Bukan mendengar seminar tetapi melalui pengalaman, ngobrol dan mengolahnya dalam pikiran. Topik parenting ini masih asing bagiku karena kami belum punya anak. Tetapi sejak SMU aku suka mengajar, dan kebanyakan objeknya adalah anak-anak, jadi pengalaman untuk mengajar anak-anak sudah ada walau tidak banyak. Aku hanya suka mengajar. Dengan mengajar anak-anak tidak berarti aku suka anak-anak. Sebenarnya aku lebih suka ngajar orang dewasa, hanya saja aku suka tantangan untuk mengajar anak-anak. Rasanya sulit untuk menghandle mereka. Mereka membuat keributan, pemberontakan dan hanya sedikit dari mereka yang cooperative.

Aku sering mendengarkan curhatannya mereka. Mereka adalah anak SD kelas 2-6. Topik utamanya adalah bahwa mereka STRESS. Sekolah bukan tempat menyenangkan bagi mereka. Setiap hari mereka kekurangan jatah untuk bermain. Setiap hari hanya dijajali dengan pelajaran-pelajaran sekolah. Pulang sekolah rata-rata jam 1.30 pm, tetapi langsung ada remedial sampai jam 3 pm. Setelah itu mereka diwajibkan untuk ikut les bimbel/ math sampai 4.30 pm, setelah itu harus ikut les mandarin atau robotic or what else. Aktivitas itu berlangsung dari senin sd jumat. Ada juga anak yang hari sabtunya masih les cooking, music, dll. Itulah sebabnya mereka jadi kurang konsen di kelas dan cenderung untuk berlari-lari di kelas, memberontak dan membuat keributan.



Pola prilaku anak-anak ini pun beragam. Contohnya saja W, kelas 6, laki-laki, anak pintar yang malas, tidak mau mengerjakan PR sekolah, tidak mau mengerjakan worksheet di tempat les, suka membuat keributan di kelas sekolah dan tempat les, membujuk orang lain untuk tidak belajar dan mem-bully murid yang lebih kecil. Ia datang ke tempat les bersama adiknya J, kelas 5, laki-laki. Mereka dua bersaudara. Mereka berdua anak dari rohaniawan di kota ini. Sebenarnya pendidikan agama tidaklah diragukan, tetapi karakter diri tidaklah dapat dibentuk hanya dengan pengetahuan agama saja. Ada banyak elemen-elemen yang harus dibentuk dari hanya membaca kitab suci. Ya, membaca kitab suci adalah penting, tetapi pengertian dari hasil membaca itu lebih penting, dan juga melakukan apa yang dimengerti dari kitab suci itu jauh lebih penting lagi. Saya sama sekali tidak menyalahkan orang tuanya yang mendidik dia menjadi seperti itu. Bahkan sekolah juga sudah give up atas kelakuannya yang tidak mau membuat PR. Bicaranya juga kasar dan keras. Aku juga hampir putus asa menghadapi anak ini. Dia dan adiknya juga.

Suatu hari, my dad datang. Aku menceritakan perilaku anak ini, dan aku juga menceritakan kebingunganku harus berbuat apa. Satu-satunya action bener yang pernah kulakukan untuk menghadapi anak ini adalah berdoa. Mengadu kepada Tuhan. Aku berdoa dengan putus asa, karena setiap hari pasti bertemu dengan anak ini. Tetapi my dad memberikan nasehat-nasehat yang manjur untuk dilakukan. Beliau mengatakan bahwa anak itu pasti mengalami 'gangguan jiwa', bukan berarti gila, tetapi ada sesuatu yang kurang dalam dirinya yang tidak didapatnya dari orangtuanya. Ada yang broken dalam jiwanya. My dad menjabarkan semua apa yang dilakukan anak itu pasti ini.. inii...itu. Tentu saja semua itu benar. He is my the expert.

Dan bener aja. Suatu hari W bercerita kepada adiknya bahwa W tidur bersama mama papa di kamar mereka karena kamar mama papanya ac-nya sedang rusak. Ketika itu J tidak tidur di rumah, jadi tidak tau peristiwa itu. Hari ketika W bercerita, ia bersikap manis. Memang perubahannya tidak langsung besar, tetapi ada perubahan. Ia mau mengerjakan worksheet yang diberikan walau hanya setengah. Hari demi hari ia menjadi lebih baik. Memang kenakalannya tidak hilang tetapi ada perubahan sedikit demi sedkit. Mereka berdua sering membuat keributan dan berantem. Berantem berdua ataupun berantem 'berjamaah', maksudnya berantem rame-rame.

Ibunya menunggui mereka berdua di mobil ketika mereka les. W sangat senang ketika dekat dengan ibunya, ia menjadi anak yang manis. W senang untuk menunjukkan diarynya, lukisannya kepada ibunya. Ya... respon ibunya sepertinya biasa aja, tetapi sangat berarti bagi W. Anehnya... J yang tadinya termasuk anak yang baik (hanya sesekali saja J menunjukkan kenakalannya, apalagi kalau sudah dipengaruhi kakaknya itu), tetapi ketika mereka ditunggui ibunya, justru J menunjukkan kemanjaannya. Sudah dua kali ia tidak masuk belajar hanya karena ngambek. Hah... aneh juga ya.

Kesimpulan sementara, anak pertama sering mendapat limpahan kasih sayang dari orangtua sampai adiknya lahir, dan ia pun dilupakan. Adik sering dibela orangtua. Jika semua perilaku adik dibenarkan orangtua, dan selalu menyalahkan kakak, maka kakak akan tumbuh menjadi orang yang suka mencari perhatian dan terus mencari perhatian, karena dengan berbuat demikian ia mendapat kepuasan, ada bagian dari jiwanya yang terpuaskan sesaat. Namun ia akan tetap mencari.

Kasus lain. K, kelas 6, perempuan. Dan G, kelas 6, perempuan. Setiap kali datang, K come with the jutek face, sedangkan G come with the cemberut face. K orang yang keras dengan muka galak, sedangkan G adalah innocent girl yang suka cemberut. Mereka berdua kalau datang hanya suka untuk mengobrol. K sering sakit kepala, kadang sakit kepala di tengah, kadang sebelah kiri. Dan mereka berdua ini sering banget curhat. Mereka menceritakan aktifitas mereka, sekolah mereka dan tentang guru-guru mereka yang menyebalkan bagi mereka, cerita tentang kelurga mereka. Mereka bersekolah di sekolah yang sama. Mereka sering stress di sekolah. Walaupun les math adalah hal yang mereka inginkan sendiri, teapi sebenarnya merek sudah tidak sanggup lagi untuk les math. mereka dari sekolah langsung ke tempat les jam 5 pm. Begitu datang, mereka langsung tiduran, menghela nafas panjang dan pergi ke kantin untuk beli makanan. Ntah bagaimana bisa mengajar orang yang kecapean dan lapar ini. Rasanya tidak tega untuk menyuruh mereka langsung belajar, karena otak juga butuh nutrisi saat belajar. Pernah aku berhasil membujuk mereka untuk langsung belajar, hasilnya tidak maksimal. Lima soal math dikerjakan dalam waktu 2 jam dan sangat melelahkan.

K dan G kelelahan belajar di sekolah, tetapi setelah itu mereka harus ikut kursus ini itu lagi. Mereka mempunyai masalah dengan fisik yang tidak kuat untuk semua aktifitas mereka itu. Saat mereka mengeluh, aku hanya berkata kepada mereka "ahh... kamu berdua pasti butuh more oxygen, and the name of oxygen is long holiday". Ya itu hanya pendapat pribadiku sendiri saja. Aku tidak ahli dalam parenting. Perasaanku hanya sedikit terusik dan berbelas kasihan karena apa yang mereka alami. Dulu, ketika SD aku masih punya waktu untuk tidur siang, jam 1.30 sd jam 3 adalah waktunya tidur siang. Mungkin orangtua dulu masih dipengaruhi oleh aturan jajahan Belanda. Katanya orang Belanda yang membiasakan untuk tidur siang. Seperti seorang teman yang bekerja dengan bos orang Belanda bercerita setiap hari setelah makan siang ada kewajiban untuk tidur siang selama 1 jam. Tapi mereka harus pulang kantor jam 7. Hmm... lumayan juga ya. Sayangnya... anak-anak SD sekarang kurang tidur. Mereka harus bangun jam 5an, tidur malam jam 11 malam. Kuota tidur tidak cukup. Susu dan makanan tidak dapat menggantikan tidur siang. Kasih sayang tidak dapat digantikan oleh uang dan fasilitas juga. Kasihan mereka.

Saya sama sekali tidak tau bagaimana mengahadapi anak-anak ini. Bapakku berkata untuk anak yang hiperaktif dan pintar, mereka hanya butuh perhatian dan tantangan. Jadi jangan berikan tugas terlalu banyak. Ukur dengan waktu pencapaian mereka. Berikan soal yang menantang dan berkualitas. Ya.. itulah yang aku lakukan, namun orantuanya menuntut untuk memberikan soal-soal yang lebih banyak dan mereka harus les selama satu setengah jam penuh. Ahh,, pusingnya.

Tidak mudah memang untuk menjadi orang tua. Tidak mudah juga untuk menjadi guru bagi anak-anak. Aku hanya tutor, aku sebenarnya tidak bertanggungjawab atas prilaku mereka. Tugasku hanya memberikan mereka soal dan mengajak belajar, jika tidak mau dan memberontak ya itu bukan urusanku. Tetapi bagaimana mereka bisa mau belajar jika mereka punya masalah yang tak terselesaikan. Hah.. Kebijakan-kebijakanku bisa saja bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan orangtua mereka dan sekolah mereka. So... aku tidak dapat berbuat terlalu jauh.

Menurutku, orangtua seharusnya tidak perlu memaksakan kehendak kepada anak. Memang orangtua bertanggungjawab atas anak di hadapan Tuhan, tetapi paksaan-paksaan itu hanay karena tahap-tahap didikan itu tidak dilakukan dengan semestinya. Usia 0-5 seharusnya anak dididik disiplin, tetapi banyak orangtua yang melewatkan ini sehingga harus kejar target di tahapan berikutnya. Seringkali saya mendengar anak usia 2-3 tahun yang diikuti kemauannya, tidak didisiplin saat meneriakin orangtua, sesukanya berbuat seperti raja di rumah. Tentu saja saat beranjak remaja mereka akan sulit untuk belajar disiplin lagi.

Seperti kata pelajaran-pelajaran kuno tentang mendidik anak, "ayah harus ikut campur tangan lebih ketika anak laki-lakinya berusia 0-5 tahun, agar mereka tumbuh menjadi laki-laki seharusnya. Anak perempuan harus lebih dekat dengan anak perempuannya saat mereka berusia 0-5 tahun, agar mereka dapat tumbuh menjadi seorang perempuan yang seharusnya".

Well... Semoga tips dan informasi ini berguna. Siapa aja pembaca yang bersedia memberikan tips tentang parenting dapat mengirimkannya melalui email jut_ibanez@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar