Hanya pikiran spontan... hanya belajar...

Senin, 17 Januari 2011

Bayar Harga

Di kalangan kaum rohaniawan, sudah dapat menebak isi sebuah artikel tentang “bayar harga”. Dalam benak pembaca pasti memikirkan tentang Yesus yang membayar lunas dosa kita. That’s right, benar sekali, tidak perlu dibantah ataupun penyelidikan jelimet yang sudah tau ujungnya. Di kalangan kaum usahawan dan profesional juga sudah menebak, “no pain no gain”. Di kalangan anak muda yang hobi dengan kisah percintaan, romansa di bangku sekolah, kaum puitisme menggambarkan sebuah cinta dengan “cinta selalu butuh pengorbanan”. That’s good for all.

Kali ini penulis lagi kapok dengan bahasa yang terlalu jelimet. Penulis hanya ingin mengambil poin yang sederhana. “Kenapa harus bayar harga?”. Secara sederhana kita menemuinya di warteg depan kampus. Anak-anak gaul nan mentereng sebuah university bergenggsi tidak segan-segan masuk ke sebuah warteg di depan kampus dan makan di situ. Setelah makan, mereka harus membayar harga berdasarkan apa yang mereka makan. Tentu saja harganya tak semahal ketika mereka makan di food court kampus ataupun di mall sebelah kampus.

-000-

Kalau seorang dari kalian mau membangun sebuah menara, tentu ia akan duduk menghitung dahulu biayanya supaya ia tahu apakah uangnya cukup untuk menyelesaikan menara itu atau tidak. (Luk 14:28, terj IBIS)

Seorang teman yang idealis berkata kepada seorang teman lain yang akan memutuskan hubungan dengan pacarnya, “bro, untuk dapat yang terbaik harus bayar harga”. Pernyataan ini tidak salah, tetapi pengidentifikasiannya yang bisa saja keliru. Adakah kita mengidentifikasikan apa yang harus kita bayar, mengapa harus dibayar, selayak apakah yang akan kita bayar sehingga harus kita bayar dengan harga yang tinggi?

Sebelum kita membuat suatu keputusan, ada baiknya kita membandingkan value dari setiap keputusan itu. Sering kita berdoa dan tiba-tiba seperti tersedia jawaban doa yang banyak sehingga kita harus memilih. Terlepas dari ada oknum lain (yang bukan Tuhan) yang menyamarkan jawaban aslinya. Terlepas juga dari apakah harus pakai iman ataupun tidak. Intinya kita harus memilih dan memutuskan sesuatu. Di dalam memilih dua atau tiga hal yang harus kita jalani ini, kita harus membuat nilai ‘layak’nya masing-masing. Seperti acara True Beauty yang ditayangkan di salah satu saluran tv kabel, para juri harus menentukan kriteria pemenang berdasarkan nilai-nilai kelayakan yang telah mereka tentukan. Tanpa diketahui peserta, para juri memberikan nilai tertinggi pada inner beauty, dan untuk performa diberikan nilai yang lebih rendah. Jika masih ada imbangan, maka diambil kriteria lain yang harus dinilai. Misalnya bagaimana nilai dari kepeduliannya? Bagaimana kejujurannya?


“Jangan pernah mau membayar harga atas apa yang tidak layak untuk dibayar”.

Jika seorang ingin membangun menara, harus ada catatan anggarannya, waktu pelaksanaan dan selesainya, dan siapa orang-orang incharge dalam mengerjakannya. Catatan anggaran biaya adalah untuk membeli peralatan, perlengkapan yang dibutuhkan, dan upah pekerja dalam mengerjakannya sehingga dapat selesai tepat waktu. Jika tidak dianggarkan dan segera dibeli, bisa saja terjadi resesi ekonomi, dan harga menjadi naik, sehingga tidak sanggup untuk melanjutkan pembangunan. Penundaan suatu pekerjaan juga berarti biaya. Salah perhitungan juga akan menimbulkan biaya baru. Oleh sebab itu perlu suatu perencanaan tertulis yang matang dan jelas.

Seorang raja yang akan berperang juga perlu pertimbangan untuk mengirim berapa banyak pasukan yang harus dikirim untuk mencapai kemenangan. Seorang ibu yang akan berbelanja akan lebih hemat jika menuliskan lebih dahulu daftar belanja yang akan dibelanjakan.

Alkitab menuliskan jika ingin membangun menara, duduk dahulu untuk membuat anggaran biayanya. Dalam hidup kita sehari-hari, ada banyak hal yang harus kita pertimbangkan sebelum kita kerjakan. Jika sudah tau ‘harganya terlalu besar’ untuk menikah dengan orang di luar Kristus, kenapa harus dimulai? Leave her/ him! Harganya bisa kehilangan Kristus. Jika sudah tau si dia sudah milik orang lain, kenapa rela keluar masuk 40 toko hanya untuk membeli sebuah sapu tangannya. Jika sudah tau anak yang tidak dididik akan mendukakan ibunya, mengapa tidak segera mendidik anak itu sejak dini?

Pada kenyataannya umumnya, kaum yang memuliakan logika lebih suka diperbudak perasaan daripada menuruti konsep logika itu sendiri. Logikanya ketika seseorang menyetir mobil, ada yang menyalibnya, tidak perlu sampai bertengkar, tetapi kebanyakan kaum pria memilih untuk membentak bahkan adu fisik. Tak sadar ia harus membayar harga kekesalan itu dengan jiwanya. Padahal logikanya mengampuni saja sudah cukup, perkara selesai.

Seringkali kita membayar harga yang seharusnya tidak harus kita bayar. Sering karena kebodohan-kebodohan yang sepele saja. Seorang anak yang terlambat datang ke sekolah harus membayarnya dengan menerima hukuman, jika ia tidak terlambat, ia tidak harus menerima hukuman. Seorang yang meletakkan barang-barang dengan sembarangan akan membayar waktu untuk mencari barang-barang tersebut. Seorang yang tidak membuat perencanaan akan membayar lebih banyak dari yang seharusnya.

Bergaul dengan orang yang salah juga dapat membawa seseorang harus membayar harganya. Seseorang menasehatkan “Hati-hatilah bergaul dengan orang yang berorientasi masa lalu dan kelemahan atau kekurangan orang lain, sebab rohmu akan terkotori oleh sikap mereka yang sering mendakwa seperti iblis dan menghakimi serta menganggap diri lebih baik....”. Seringkali tenaga kita terkuras karena seorang teman kerja yang negatif dalam perkataannya. Jangankan untuk bergaul, bersentuhan sebentar saja akan membuat hari kita sedemikian buruk. Tetapi alangkah repotnya jika orang seperti ini adalah bagian dari keluarga kita atau orang yang paling dekat dengan kita, atau pasangan hidup kita. Maka kita harus bersiap-siap untuk membayarnya dengan seluruh hidup kita.


Ada pepatah yang mengatakan “pernikahan akan membawa kita lebih dekat dengan surga atau dengan neraka”

So, seharusnya kita membayar apa yang ‘kita makan’ saja. Kita tidak harus membayar hal-hal yang tidak kita layak untuk kita bayar. Sebelum kita memutuskan sesuatu pertimbangkanlah nilainya apakah sesuai dengan yang harus kita bayarkan. Jangan sampai kita membayar kelebihan biaya yang seharusnya tidak ada.

Dan sekarang, dapatkah kita bayangkan seberapa worthed kah kita untuk digantikan dengan Anak Tunggal Bapa, Yesus Kristus? Kenapa Bapa rela mengorbankan Yesus hanya untuk mendapatkan kita? Kita, orang percaya, Israel kesayangan-Nya, His special possession. Tidakkah kita dapat berpikir bahwa kita sangat berharga bagi-Nya? BagiNya kita sangat worth untuk didapatkan kembali, sekalipun dengan mengorbankan Anak-Nya yang dikasihi-Nya, Yesus Kristus, untuk kita. Maukah kita menghargai pengorbanan Anak-Nya, hanya untuk mempertemukan kita kembali dengan Bapa?

Tuhan Yesus telah memberikan kita anugerah terbesar kepada kita, yaitu hidup. Hidup yang kekal di surga dan hidup yang penuh berkat di bumi. Hidup kita bukan hanya soal selamat atau tidak selamat, dosa atau tidak dosa, tetapi Tuhan mengajar kita untuk menjadi orang yang yang bijak. Marilah kita hidup di dalam anugerah-Nya. Apapun yang dilakukan orang terhadap kita, tidak mengubah anugerah Tuhan kepada kita. Hanya saja orang yang berkata negatif dan orang yang berorientasi masa lampau dapat mengubah persepsi kita, cara pandang kita terhadap nilai anugerah itu sehingga dapat membuat kita menjauh dari anugerah Tuhan itu. Masa depan ada di tangan Tuhan, bukan di tangan orang-orang yang selalu mengingatkan masa lampau (quot). Janganlah sampai kita membayar harga terhadap waktu-waktu yang hilang, yang seharusnya kita nikmati dalam hidup penuh berkat.