Hanya pikiran spontan... hanya belajar...

Jumat, 25 April 2014

Lagi Pengen Nulis Aja

Beberapa hari ini sebenarnya pengen sekali bisa membaca buku atau research tentang sesuatu, namun apa daya tubuh ga sanggup. Sesi hidup kali ini bener-bener jadi orang pemalas sejagat raya. Ga bisa berbuat banyak hal, kebanyakan bed rest. Akibatnya diriku hanya mampu menjadi pengamat kehidupan saja. 

Sepotongan lagu Mandarin mengatakan "hidup ini adalah sekolah tanpa dinding". Ya... jika kita mau lebih memperhatikan detail kehidupan maka kita akan menjadi bijak. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya bahwa seorang pembicara hebat bisa terlihat sangat hebat ketika ia meluangkan waktu untuk duduk dan berpikir, sehingga ia menciptakan kata-kata yang indah. Coba perhatikan saja, kadang kala saat seorang pembicara atau motivator atau preacher berbicara kadang kala mereka hanya memberitahukan kita informasi yang umum, yang sudah pernah kita tau. Namun ia terlihat hebat dan wow ketika ia menyampaikan pesannya. Dan kita akan mendapatkan informasi yang baru dari indormasi yang umum yang ia sampaikan kalau kita mau memperhatikan dengan jeli dan detail, pasti kita akan mendapat sesuatu yang baru. Katakanlah sebuah kotbah "5 roti 2 ikan", hal itu bukan hal baru, sudah kita dengar ratusan kali. Tetapi ntah kenapa ketika saya mau belajar, duduk diam dan tidak membiarkan pikiran ini berkomentar, saya mendapatkan jauh lebih banyak dari apa yang sudah pernah saya tau. Misalnya kita bisa belajar bagaimana cara menyampaikannya supaya keren, oh no.... bukan sekadar keren tetapi supaya nyampe ke tujuan. Kita bisa aja ngoceh tentang "5 roti 2 ikan" namun jemaat pulang dengan kosong, ga bawa apa-apa. See... Kadang kala juga melalui pembicara/ pengkotbah itu Tuhan membuka wawasan kita lebih besar lagi, sehingga ada memori-memori pikiran yang muncul yang tentu saja berhubungan dengan kotbah tersebut. Begitulah orang Yahudi belajar. Intinya perhatikanlah orang yang berbicara.

Saya kadang suka kesal kepada orang yang nanya ga serius. Mengapa membuang waktu untuk bertanya, jika tidak mau mendengarkan jawabannya? Hal ini seringkali terjadi di komsel. Saat komsel kita kedatangan teman baru, agar kita terlihat orang yang care, peduli,  ramah, maka kita pun mulai bertanya tentang kehidupan teman baru tersebut. Tanpa sadar, kita ga peduli dengan jawabannya, hanya mengangguk-angguk saja. Hal ini juga bukan untuk orang baru di komsel aja, tapi ketika seseorang bertanya kepada orang yang ga terlalu ia suka, dalam hati sebenarnya ia bilang "errgg.. kenapa dia datang". Come on, klo ga mau denger jawaban seseorang mendingan jangan bertanya. Orang pendiam itu bukan berarti dia merasa kesepian klo ga ditanyain, tetapi dia juga ingin privasi untuk diam aja, karena ia tidak terlalu nyaman berbicara. 

Mari kita renungkan ini, kita ingin sekali menjadi garam dan terang dunia, namun kita ga mampu untuk menjadi jawaban kepada orang-orang yang datang kepada kita. aneh kan. Batalkan saja niatmu.

Seorang yang mau jadi garam dunia, sadar ga sadar harus menjadi leader bagi orang lain. Gampangnya gini... Misalnya aja, Saudara mempunyai seorang karyawan yang ketahuan mencuri. Jika Saudara adalah leader, bukan hanya bos, pastinya saudara tidak memecatnya, tetapi menasehatinya sehingga ia tidak mencuri lagi. Ia tidak hanya tidak mencuri tetapi ia mampu menasehati temannya yang lain agar tidak mencuri. Saat karyawan tersebut bisa menasehati temennya itu, ia sedang menjalankan fungsinya sebagai garam, tetapi di saat yang bersamaan, Saudara sedang menjalankan fungsi sebagai terang. Bayangkan jika karyawan tersebut Saudara pecat begitu aja, maka dosanya tetap dan ia tidak berubah, dan Saudara tidak menjadi pengaruh apapun untuk orang lain. Okelah ini contoh bagi orang yang punya karyawan. Contoh lain. Dari kisah nyata. Saya mengenal seseorang, ia mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat, passion dan tujuan hidup yang jelas. Ya tentu saja setiap orang kristen ingin menjadi garam dan terang dunia. Katakan saja nama teman saya ini adalah Mas Ari. Mas Ari sedang masuk ke ruang tunggu keberangkatan pesawat. Ia melihat seorang bapak yang merokok di tempat umum. Ia menegur bapak ini "Pak, tidak baik Bapak merokok di sini, lihat di sebelah Bapak ada bayi, ada orang tua yang turut menghirup asap rokok Bapak. Di sebelah sana ada ruang khusus merokok. Terima kasih Pak". Nah... saat Mas Ari menegur orang yang merokok, ia menjalankan fungsinya sebagai garam dunia. Saat orang itu mau mendengar perkataan Mas Ari dan menegur temannya yang lain yang merokok dalam ruangan itu, atau orang lain yang melihat perbuatan Mas Ari itu mematikan rokoknya, maka perokok pertama sedang menjalankan fungsi sebagai garam, dan Mas Ari sudah menjadi terang dunia. 

Sebenarnya dalam kehidupan kita bisa menjadi lebih bijak ketika kita bisa menjadi jawaban atas orang lain. Respon kita terhadap sekeliling kita bisa membuat tujuan kita tercapai. Mungkin kita ga bisa menjadi spiderman yang menolong kota, tetapi kita bisa menjadi diri kita sendiri dan mulai memperhatikan detail-detail kehidupan. Jawab pertanyaan dengan jawaban yang tepat bukan dengan emosi dan mengambil keuntungan. Seperti halnya beberapa waktu ini kita dikejutkan dengan berita dari sekolah internasional. Coba pikirkan dengan jeli apa masalah yang sebenarnya di sini? Menurut pendapat saya, masalah sebenarnya adalah outsourcing. Kalau saja pihak sekolah tidak mengambil tenaga outsource, tetapi melatih karyawannya sedemikian menurut visi misinya, maka kemungkinan peristiwa ini terjadi akan menurun. Kemungkinan bisa terjadi masalah ini tanpa outsource juga ada, tetapi pastinya perbandingan lebih kecil dibandingkan dengan outsource tersebut. Kita malas untuk melatih orang lain sehingga percaya aja sama pihak ketiga. Sekarang ini hal yang disoroti adalah hal ijin, dlsb hanya karena sekolah internasional. Saya tidak bermaksud untuk membela sekolah internasional. Saya seorang guru, saya pernah mengajar anak-anak internasional, memang secara inteligen mereka pintar, bahasa Inggrisnya juga cas cis cus... mantap deh, tetapi secara moral, sopan santun beegghh... kacau balau. Bahkan mereka dengan santai untuk mengejek Indonesia, sama sekali tidak mempunyai nasionalisme. Jika kita hidup di Indonesia, masih makan dari Indonesia, mengapa harus mengejek Indonesia. Ini sama seperti pasukan doa para (katanya) hamba Tuhan, abis doa puasa, sambil makan buka puasa, mereka merendahkan Indonesia, sementara ketika mereka di dalam ruang doa nangis kenceng untuk keselamatan Indonesia. Hah...  tinggalkan saja niatmu!!

Contoh lain lagi perusahaan yang malas melatih karyawan bau kencur, sehingga harus hire karyawan yang sudah jadi dengan gaji rendah, atau hire dari perusahaan head hunter. Kita harus sadar bahwa kita punya visi sendiri, dan orang lain yang ada bersama kita tidak akan tau visi kita jika tidak ditraining. Masalah-masalah seperti ini sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak awal, tetapi ada yang peduli ada yang tidak. Saya kagum sama perusahaan-perusahaan yang mau menerima karyawan yang baru sama sekali, masih "bau kencur", "masih hijau", dan mereka melatih sedemikian sehingga orang tersebut dapat memenuhi tujuan perusahaan. Indonesia bisa berubah jika banyak dari pemimpin-pemimpin yang mau melatih juniornya.

Belakangan ini saya tidak banyak study bible, hanya membacanya saja.. Tetapi saya mengingat beberapa prinsip-prinsip FT dan membandingkannya dengan budaya. upss... maksudnya saya menemukan keganjilan dengan budaya dan melihat kepada FT. Seperti begini, saya dapat broadcast nasihat untuk suami istri dan keluarga. Kebetulan banget belum lama kami membahas tentang keluarga di radio. Bagian akhir broadcastnya kira-kira begini, "para istri/ suami... ingatlah bahwa rejeki suami/ istrimu adalah rejeki mertuamu", dimana cerita pendahulannya seorang ibu yang menghitung berapa biaya ASI yang sudah ia keluarkan, biaya susu, dlsb. Ini budaya umum yang terjadi di bangsa kita. Tetapi mari kita berefleksi sama FT apakah hal itu yang dikatakan oleh FT? Di bagian awal Alkitab, which is di kitab Kejadian 2:24 mengatakan bahwa "seorang laki-laki akan meninggalkan bapak ibunya dan bersatu dengan istrinya menjadi satu daging". Pengertian FT menjadi kabur karena kebanyakan orang lebih peduli kepada budaya daripada FT. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak bisa berbagi rejeki dengan orang tua. Bahkan Yesus sendiri menyindir orang Farisi, bahwa sorang Farisi lebih peduli membayar perpuluhan selasih daripada mengurus orang tuanya. Dan ayat inipun dianggap bahwa di zaman Perjanjian Baru tidak perlu membayar persepuluhan. Bukan itu maksudnya. Bukan juga berarti kita tidak bisa mengurus orang tua. Tetapi ketika kita dipersimpangan jalan, kita harus memilih siapa yang kita dahulukan istri/ suami atau orangtua/ mertua? Jelas berdasarkan Kej 2:24 ini, kita harus mendahulukan pasangan istri/ suami. Tetapi kita juga bisa mengurus ortu kita berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri. Hati-hati dengan budaya. Budaya Indonesia baik, tetapi kita harus mengutamakan FT daripada budaya, right? Dan sebenarnya kita harus tau budaya tersebut datang darimana. Kita harus bijak berjalan di dunia ini.

Well... rasanya saya puas sudah bisa mengetikkan semua ini. hehehe.