Hanya pikiran spontan... hanya belajar...

Kamis, 29 Desember 2011

More Than Just Life

ditulis 6 Nov 2011

Senang sekali rasanya dapat bertemu dengan Om Fred, Om Hengky Lie dan Om Djoko. Sayang sekali tak bertemu dengan tante Ilona. Dan juga Kak Riris yang tak jadi dating. Sudah lama rasanya tak bertemu dengan Kak Riris dan bercerita dengannya.
Aniway… seharian kemarin, sepulang kantor, aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, yang tentunya mempengaruhi cara ku berpikir. Mulai dari kopdar gpdiworld, pertemuan dengan seorang teman lama, dan seorang teman lagi yang bekerja sebagai manajer toko  buku rohani. Rasanya waktu yang bergulir tak terasa, sampai akhirnya pintu mall yang menghentikan semuanya. Artinya sudah jam sepuluh malam, harus seera pulang.

Banyak hal aku dapat belajar dari mereka. Uppss… mungkin mereka juga tak sadar telah berbagi hidup mereka denganku. Seringkali kita tidak sadar bahwa di dalam kita mempunyai permata yang berkilau. Dan ketika kita bersedia berbagi dengan orang lain, menyediakan waktu kita, menyediakan telinga untuk mendengar, atau hanya menemaninya berjalan melalui lorong-lorong hidup… ternyata kita sedang membagikan kilauan permata kepada orang lain. Dan… permata yang berkilau harus berada pada tempatnya, agar kilaunya terlihat dan member manfaat.


Banyak pelajaran berharga untuk hari ini. Dan kesimpulannya kuberi judul “More Than Life”. Hidup kita seharusnya lebih dari sekedar hidup. Hidup kita bisa lebih hidup dari hidup yang kita hidupi sekarang. Ya… seharusnya… ya… idealnya.
Beberapa waktu lalu (belum ada sebulan) ada seorang teman yang berbagi cerita, dia bilang “seharusnya kita kerja bukan hanya sekedar mencari makan yang numpang lewat aja. Siang ini uang hasil kerja keras dibelikan makanan, dan besok berakhir di jamban”. Dari perkataannya rasanya dapat merasakan betapa ia sedang berusaha bersyukur atas hidup ini, namun idealisme itu mulai dipertanyakan “benarkah hidup seperti ini?”.

Teman lama ku tadi berbagi mimpi untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. Ia memaparkan konsep-konsep yang ada dipikirannya dan mempengaruhiku untuk ikut serta membuat bangsa ini lebih baik lagi. Tanpa sadar ia telah memiliki konsep “Holy Discontent” –nya Bill Hybels. Suatu keresahan atau ketidakpuasan yang kudus terhadap lingkungan sekitar. Rasanya ada sesuatu di relung hati yang paling dalam, rasa yang tidak puas akan kondisi sekitar dan menimbulkan pertanyaan “kenapa?”. Misalnya ketidak puasan terhadap isu kemiskinan di negeri ini, dan atas hal itu ia mengambil tindakan untuk berbuat sesuatu, seperti puasa setiap hari jumat dan mengumpulkan uang makannya hari jumat dan membagikannya kepada orang yang tidak dapat membeli makan pada hari jumat. (tentang hari, itu hanya contoh, tidak bermaksud mengkeramatkan hari tertentu).

Teman lamaku itu mempunyai holy discontent yang wow banget (menurut saya). Ia merasa resah ketika melihat teman-teman gerejanya tidak mempunyai pekerjaan, hidup di bawah garis kemiskinan. Ia sangat ingin membantu mereka, tentu saja tidak dapat dengan membagi-bagikan uang. Uang bukan solusi kemiskinan. Perubahan harus terjadi di pikiran dulu barulah pada tindakan untuk merubah hal-hal yang harus dirubah. Seperti Rasul Paulus katakan “berubah oleh pembaharuan budimu”.
Temanku, si manajer toko buku rohani berkata “kerja kita harus dapat menjadi kemuliaan Tuhan”. Off Course.. aku setuju sekali akan pernyataannya. Mari kita melihat pesan Yesus sebelum Ia terangkat ke surga.

Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Mat 28:18.
Kata ‘Kuasa’  di sini, tidaklah sama seperti kuasa pada Kis 1:8, yang dunamis. Kata  ‘kuasa’  di sini memakai kata exousia, yang berarti  wewenang, hak, kebebasan untuk melakukan sesuatu.

Jadi, ketika perintah yang diberikan di ayat berikut “jadikanlah semua bangsa murid-Ku”. Siapakah yang menjadi guru di sini? Kitalah yang menjadi guru, dan bangsa-bangsa adalah murid. Karena ‘kuasa’ itu sudah diberikan kepada kita. ‘Kuasa’ itu sudah diwewenangkan, sudah dipindah alih dari Tuhan ke gereja, yaitu kita. Ketika kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat kita, seperti ada tanda tangan pengalihan kuasa untuk memuridkan bangsa-bangsa.

Mari kita melihat dua kata yang penting yang menjelaskan siapa bangsa-bangsa tersebut.
Pertama kita melihat kata ‘bumi’ pada Mat 28:18  "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di ‘bumi’ ”. ‘Bumi’ di sini ge, yang berarti bumi yang kita pijak, bumi secara keseluruhan, Negara dalam batas-batasnya, orang-orang yang menetap di bumi. Pengertian ini berbeda dengan dunia kosmos, dimana yang bumi yang lebih luas yang belum tentu ada manusianya.

Satu lagi, mari kita perhatian kata ethnos pada bangsa Mat 28:19 “..pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku..”. Kata ethnos di sini sering dipakai Paulus untuk menunjukkan bangsa orang kafir dan Yahudi. Tetapi kata ini umum untuk menunjukkan orang Samaria (Kis 8:5,9). Dalam 1Kor 10:32 Paulus membedakan 3 jenis ethnos: orang Yahudi, Yunani (bangsa kafir) dan Jemaat Allah (gereja). Ethnos juga dipakai untuk menyebutkan kelompok komunitas Kristen (Mat 21:43; Rom 10:19). Tetapi kata ini sering diperjelas menjadi lebih spesifik lagi menjadi ‘bangsa terpilih’ dalam 1Pet 2:19.

Dari penjelasan singkat di atas dapat kita lihat bahwa Tuhan Yesus telah memberikan wewenang dengan tanda tangan pengalihan kuasa kepada gereja-Nya untuk memuridkan bangsa-bangsa, whisch is gereja tidak hanya berdiri memuridkan orang-orang Kristen saja, tidak hanya memuridkan di dalam gereja. Gereja harus dapat berbaur dan tidak tidak kehilangan identitasnya sebagai gereja Tuhan  dimana ia bekerja, dimana ia hidup, dimana ia bergerak. Perintah Tuhan bukan memyuruh kita untuk menjadi pendeta. Sama sekali kita tidak menemukan hal itu di pesan terakhir Tuhan Yesus.

Gereja seharusnya dapat memuridkan dunia ini, menjadi terbaik dalam hal apapun yang ia kerjakan. Seharusnya dunia pergi belajar kepada gereja dalam segala hal. Baik dalam hal relijius, dunia seni, dunia entertainment, dunia pendidikan, dunia politik, dunia ekonomi, dunia bisnis, dll. Seharusnya gereja menjadi yang terbaik dalam hal ini. Selama ini gereja anti dengan dunia politik, takut ada iblis di situ. Gereja anti mengirim anak-anak mereka ke dunia seni dan entertainmen karena mereka takut keduniawian. Apakah keduniawian? Apakah gereja hanya mau berdoa dan menyuruh Tuhan yang melakukan ‘memberi pengaruh’ pada dunia.

Mari kita lihat lagi perintah Tuhan Yesus, sebagai tujuan hidup kita ada di muka bumi ini.
“Kamu adalah garam dunia (ge)”
“Kamu adalah terang dunia (kosmos)”
Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik (kalos = excellent) dan memuliakan Bapamu yang di sorga.

Kata ‘bumi’ yang dipakai di Mat 28:18 itu sama dengan kata ‘dunia’ pada Mat 5:13 “garam dunia”. Seperti yang sudah kita ketahui menjadi garam berarti menjadi pengaruh. Dan tujuannya jelas, yaitu menjadi excellent/ kalos. Berarti gereja harus menjadi yang terbaik di segala bidang. Kita tidak bisa hanya menunjukkan bahwa kita rajin beribadah, karena tidak berdampak banyak kepada dunia sekitar kita. Tuhan Yesus tidak mengajarkan kita supaya orang dunia melihat kita sedang berdoa dengan rajin, dengan kusuk. Tetapi butuh action untuk menjadi yang terbaik. Panggilan gereja adalah untuk menjadi excellen di segala bidang kehidupan, sesuai dengan benih yang ditanamkan/ diberikan Tuhan kepada setiap orang.
Bersambung……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar