Hanya pikiran spontan... hanya belajar...

Jumat, 15 April 2011

Kunjungan ke Somba Opu

Beberapa hari berkunjung ke Makassar, sempat juga mengunjungi beberapa tempat bersejarah. Sungguh dapat mengagumi alam Indonesia yang kaya akan budaya. Cerita-cerita unuik yang disampaikan oleh pemandu wisata, seakan membangkitkan jiwa nasionalisme. Cerita yang diselingi dengan canda tawa itu kadang justru menghilangkan pesan pentingnya. Selain bahasanya yang masih asing di telinga, nama-nama yang disebutkan juga panjang dan sulit dilafal ulang. Sang pemandu wisata dengan sabar menyebutkan tahun-tahun, nama-nama dan alur cerita sejarah yang didengar spintas lalu saja oleh peserta tour. Karena penasaran akan kebenaran cerita sang pemandu wisata, penulis mengutip beberapa catatan.


Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX yang bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘ Kallonna pada tahun 1525. Pada pertengahan abad ke-16, benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa. Pada tanggal 24 Juni 1669, benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang. Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi sehingga tampak lebih indah. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah obyek wisata yang sangat menarik, yaitu sebagai sebuah museum bersejarah.
Di dalam benteng, terdapat beberapa bangunan rumah adat Sulawesi Selatan (yang mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Kajang), sebuah meriam bernama “Baluwara Agung” sepanjang 9 meter dengan berat 9.500 kg, dan sebuah museum yang berisi benda-benda bersejarah peninggalan Kesultanan Gowa.

Tak seperti anggota tour lainnya yang berfoto di rumah adat Toraja, kami mengunjungi Museum Pattingalloang. Karena tidak tau banyak tentang museum ini,dan tidak ada pemandunya juga, penulis memutuskan utk surf tentang benteng ini. berikut ini adalah catatan kutipan dari 'hikmat di dinding-dinding'.
Dalam beberapa catatan disebutkan, Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX. Sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo, ia bertugas mendampingi Sultan Malikussaid yang memerintah Kerajaan Gowa (1639-1653). Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya. Masa itu adalah masa kejayaan Kerajaan Gowa. Banyak pedagang Eropa menjalin kerja sama perdagangan dengan Kerajaan Gowa era itu.
Pada zaman itu, kecerdasan Karaeng Pattingalloang melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun, ia telah menguasai banyak bahasa. Di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Konon, ketika ia ditawari hadiah dari rekan bisnisnya yang berasal dari sejumlah negara, Karaeng Patingalloang meminta hadiah berupa buku.
Sebelum meninggal, ia pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
1. Punna tenamo naero nipakainga’ karaeng mangguka,2. Punna tenamo tumangngaseng ri lalang pa’rasangnga,3. Punna tenamo gau lompo ri lalang pa’rasanganga,4. Punna angngallengasemmi soso’ pabbicaraya, 5. Punna tenamo nakamaseyangi atanna mangguka.Yang artinya:
1. Jika raja yang memerintah tidak mau lagi dinasihati,
2. Jika tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Jika sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Jika sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok,
5. Jika raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.



Hidup itu indah, Nikmatilah!! Life is good, Enjoy it!!






Kisah tentang asal-usul kemiripan kebudayaan Batak dan Makassar. Salah satu Raja yang diusir dari tanah Batak, pergi melewati lautan ke Makassar, menjadi raja di situ. Sampai kejayaan putera Makassar di Srilangka dan kampung Makassar di Mozambique. Itulah yang kami dengar dari pemandu wisata kami.

Sayangnya, *disaster* foto2ku hilang ntah terkena keeroran apa nih kamera. Anyway still fun. enjoy :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar