Belakangan ini banyak sekali tersebar isu-isu budaya. Mungkin kita tidak bisa lagi menyadarinya, karena kita ada di dalamnya, kita menjadi bagian dari budaya tersebut. Seakan kita tidak dapat keluar dari situ dan ketika kita bercermin pada Firman Tuhan sekalipun, budaya itu masih menjadi kubu-kubu yang menghalangi kita bertemu dengan esensi Firman Tuhan yang sebenarnya. Maksud saya adalah intepretasi terhadap Firman Tuhan itulah yang justru menjadi kubu-kubu yang menghalangi kita dapat mengerti Firman Tuhan yang sesungguhnya.
Banyak sekali isu-isu budaya yang sering dikecam di panggung gereja tapi sebenarnya kita adalah salah satu dari pelakunya. Misalnya, budaya panik. Mengapa saya katakan "budaya"? Mari kita perhatikan di jalan raya, saat macet. Hanya karena kita panik, ngikutin kendaran di depan kita aja, tanpa melihat rambu apakah sudah waktunya jalan atau belum. Akibatnya macet total. Sebenarnya jika kita tidak mengembangkan budaya panik dan budaya "belum tau dia siapa gw", pastilah kemacetan dapat terurai. Saya tidak bermaksud merendahkan para pengendara motor, namun kenyataannya motor adalah kendaraan yang paling tidak tertib berlalu-lintas. Kami juga kadang harus naik motor untuk jarak tempuh yang jauh nan macet, karena kepraktisan di ibu kota. Kami sering memperhatikan pengendara motor yang suka nyempil di sebelah kanan, berjalan lambat, minta dihormati, dan sesuka hati mengambil jalur. Mari kita saling menjaga ketertiban berlalu-lintas. Mari kita juga menjaga hati kita masing-masing. Hati kita adalah tanggung jawab kita, bukan tanggung jawab orang lain, sehingga kita tidak dapat lagi berkata "abis dia bikin gw emosi sih".
Itu masih di satu segmen kecil saja. Masih banyak lagi area budaya yang aneh. Misalnya dalam hidup berumah tangga. Dalam hidup sehari-hari kita mendengar bahwa istri harus melayani suami, sehingga suami berprilaku seenaknya terhadap istri. Namun kita belajar dari Firman Tuhan tidaklah demikian seharusnya. Suratan Efesus menjelaskan bahwa suami istri harus saling submit, artinya harus saling melayani. Belum lagi soal menghormati orangtua. Dalam budaya kita sehari-hari, kita mendengar bahwa orang tua harus ditaati. Padahal Firman Tuhan mengatakan bahwa kita harus menghormati orang tua. Bedanya adalah ketika kita masih dalam tudung orang tua, kita memang harus hormat dan taat kepada orang tua, tetapi saat kita membangun rumah tangga sendiri, kita tetap harus hormat kepada orang tua, dan taat kepada orang tua itu adalah pilihan, bukan keharusan. Mengapa begitu? Karena saat kita berumah tangga kita membentuk peraturan yang baru, seperti negara baru, dimana suami-istri yang menentukan peraturan itu bukan dari pihak luar, termasuk orang tua. Memang budaya yang satu ini berat untuk dilakukan tetapi kedua belah pihak antara orang tua dan anak harus saling mengerti. Suami adalah pemimpin yang menjadi penentu apakah saran orang tua harus diikuti atau tidak. Namun halnya menghormati, mamang tidak ada pilihan, menghormati orang tua itu adalah suatu keharusan, dalam batasan Firman Tuhan. Maksudnya ketika ortu meninggal tidak perlu diberikan penghormatan berlebihan seperti berdoa di pusaranya ataupun yang berkaitan denan itu.
Budaya lainnya seperti lebih mengutamakan pelayanan gerejawi dari pada pelayanan di dalam keluarga sendiri. Saya suka miris liat hamba-hamba Tuhan yang dipakai luar biasa namun tidak akur di rumah sendiri, antara suami-istri dan anak-anak. Sebaiknya dalam hal ini kita mengatur prioritas kita. Jika semuanya adalah prioritas maka sebenarnya tidak ada prioritas. Jika semuanya jadi terpenting maka semua jadi tidak penting. So.. mari kita ijinkan juga pendeta kita atau hamba Tuhan yang kita undang melayani untuk berkata "tidak" ketika kita undang. Kita juga belajar untuk berkata "tidak" jika diperhadapkan dengan "pelayanan besar" dengan "sudah lama tidak bertemu bercengkrama dengan keluarga".
Hal lainnya, banyak sekali anak-anak yang baru pulang dari luar negeri atau bersekolah di sekolah internasional memanggil orang yang lebih tua darinya dengan sebutan nama langsung tanpa ada kata "bapak", "ibu", "kakak", "abang", "om", "tante". Well.. kita tinggal di Indonesia, walaupun sepertinya keren untuk bisa langsung menyebut nama orang tersebut, namun secara Indonesia, kita menjadi orang yang tidak sopan. Lebih baik tanyakan dahulu, lawan bicara kita itu mau dipanggil dengan sebutan apa. Memang ada beberapa orang yang lebih suka langsung dipanggil nama, apalagi orang bule. Di dalam Alkitab, kita juga dapat menemukan Yesus menyebut ibunya dengan sebutan "Perempuan" atau "Wanita", atau "Woman". Memang terdengar kasar. Tetapi kita harus mengembalikannya kepada konteks pada saat itu. Dalam Yoh 2, belum waktunya bagi Yesus untuk melakukan mujizat namun ibunya memaksa, Maria sudah menunggu waktu ini bertahun-tahun.Ia menyimpan segala perkara dalam hatinya, artinya Maria selalu mengingat janji Tuhan itu (Luk 2:19;51). Ketika Maria mengharapkan Yesus sebagai Mesias yang harus membuat mujizat saat itu, maka Yesus pun bertindak sebagai Mesias dan menegur Maria dengan keras. Walaupun demikian, Yesus kembali merendahkan hatiNya, melakukan apa yang menjadi keinginan Maria, ibuNya. So.. dalam hal ini, kita tidak dapat menyetarakannya dengan budaya kita.
Hal lain yang patut kita perhatikan adalah "budaya ngikut". memang baik sekali untuk mengikuti pemimpin kita, pendeta kita, gembala sidang kita. Namun, mereka juga adalah manusia, kita harus mempelajari Firman Tuhan dengan sungguh-sungguh, sehingga jika kotbah yang kita dengar tidak tepat dengan apa yang FT katakan, kita bisa tidak mengikutinya. Kita juga harus mendoakan gembala sidang kita supaya mendapat pewahyuan dari Tuhan. Saya tidak menyalahkan hamba Tuhan, pendeta, gembala sidang, namun saya melihat suatu keseragaman yang agaknya salah kaprah yang hampr menyeluruh di beberapa gereja, walaupun mereka beda sinode. Kenapa hal ini bisa terjadi. Seperti tidak dapat dibilangin lagi, sudah seperti kubu-kubu, benteng pertahanan yang sangat kokoh yang tidak dapat ditembus.Dalam hal ini saya tidak berniat untuk menyerang pendeta tertentu. Saya hanya bicara secara umum. Saya mendengarkan siaran radio rohani, media televisi siaran rohani, namun isinya sama saja. Saya juga pernah baca sumbernya, tetapi intepretasi FT yang diberitakan jauh dari konteks, tetapi banyak pengikut intepretasi tersebut. Aduh.. mungkin lebih famous membaca intisari renungan harian, buku tafsiran alkitab daripada alkitab itu sendiri. Semua orang pasti pernah salah mengintepretasikan, namun ada Roh Kudus. Ketika Roh Kudus menegur, kita harus mendengarkan.Biasakan mendengar suara Roh Kudus dari hal-hal kecil, agar ketika kita dalam hal-hal besar kita bisa mendengarkanNya.
Saya pikir masih banyak budaya aneh di sekitar kita. Aneh banget. Mari kita memulai dari diri sendiri, membangun budaya baru yang sesuai dengan Firman Tuhan. Mari belajar Firman Tuhan lebih lagi.